Al-Khitbah Atau Meminang
Al-Qodhi
Asy-Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an
A. Makna dan Hukum Meminang
Al-Khitbah dengan dikasrah ‘ﺥ’-nya berarti pendahuluan
“ikatan pernikahan” yang maknanya permintaan seorang laki-laki pada wanita
untuk dinikahi. Dan hal ini pada umumnya ada pada laki-laki. Maka yang memulai
disebut “ ﺧﺎﻇﺑﺎ” (yang
meminang) sedang yang lain disebut “ ﻤﺧﻇﻮﺑﺎ
“ (yang dipinang).
Meminang itu adalah hal yang disunnahkan sebelum
akad nikah, karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam meminang
untuk dirinya dan meminang untuk (sahabatnya) yang lain. Dan di antara tujuan
meminang yaitu : mengetahui pendapat yang dipinang, apakah ada setuju atau
tidak. Demikian juga untuk mengetahui pendapat walinya.
Meminang itu akan mengungkap keadaan, baik sikap
wanita itu maupun keluarganya. Dimana kecocokan dua unsur ini dituntut sebelum
akad nikah, dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang
menikahi seorang wanita kecuali dengan izin wanita tersebut, sebagaimana
diriwayatkan Al Imam Al-Bukhariy dan Al-Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu berkata: telah bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak dinikahi seorang janda kecuali sampai
dia minta dan tidak dinikahi seorang gadis sampai dia mengijinkan (sesuai
kemauannya)”, para sahabat bertanya “Ya Rasulullah, bagaimana ijinnya?”,
maka beliau menjawab, “Jika dia diam”.
Maka bila janda maka dikuatkan dengan
musyawarahnya dan wali butuh pada kesepakatan yang terang-terangan untuk
menikah. Adapun gadis, wali harus minta ijinnya, artinya dia dimintai
ijin/pertimbangan untuk menikah dan tidak dibebani dengan jawaban yang
terang-terangan untuk menunjukkan keridhaannya, tetapi cukup dengan diamnya,
sungguh dia malu untuk menjawab dengan terang-terangan. Dan makna ini juga
terdapat dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwa beliau berkata,
“Ya Rasulullah, sesungguhnya gadis itu akan
malu”, maka beliau bersabda, “Ridhanya ialah diamnya”. (HR.
Al-Bukhariy dan Muslim)
Akan tetapi hendaknya diyakinkan bahwa diamnya
adalah diam ridha, bukan diam menolak, dan itu harus diketahui oleh walinya
dengan melihat kenyataan dan tanda-tandanya. Dan perkara ini tidak samar lagi
bagi wali pada umumnya. Adapun kesepakatan wali dari pihak wanita itu merupakan
perkara yang harus dan merupakan syarat dalam nikah menurut jumhur ulama,
karena jelasnya hadits dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang
bersabda :
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
(HR. Imam Ahmad dan Ashabus sunan)
Dan jumhur mengambil dalil atas syarat ridhanya
wali dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
فَلاَ
تَعْضُلُوْهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bekas suaminya”. (Al-Baqarah : 232)
Artinya: Jangan kau cegah wanita yang tercerai
untuk kembali ke pangkuan suaminya, karena dia lebih berhak untuk ruju’ jika
memungkinkan secara syariat. Telah berkata Imam Syafii “Ini ayat yang
paling jelas tentang permasalahan wali dan kalau tidak maka pelarangan wali
tidak bermakna”. (Lihat Subulussalaam Syarah Bulughul Maram, Al-Imam
Ash-Shan’any, juz 3 hal 130).
B. Memandang Wanita Yang Akan dipinang (An-Nazhar)
Pada dasarnya di dalam hukum syariat melihat
wanita asing bagi lelaki dan sebaliknya adalah haram. Yang diwajibkan adalah
menundukan pandangan dari yang haram bagi laki-laki maupun wanita, firman Allah
Ta’ala,
قُلْ
لِلْمُؤْمِنينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصارِهِمْ وَ
يَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذلِكَ أَزْكى لَهُمْ
إِنَّ اللهَ خَبيرٌ بِما
يَصْنَعُونَ وَ قُلْ لِلْمُؤْمِناتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصارِهِنَّ وَ
يَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدينَ زينَتَهُنَّ
إِلاَّ ما ظَهَرَ مِنْها
وَ لْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلى جُيُوبِهِنَّ وَلا
يُبْدينَ زينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبائِهِنَّ أَوْ آباءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ أَبْنائِهِنَّ أَوْ أَبْناءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ إِخْوانِهِنَّ أَوْ بَني إِخْوانِهِنَّ
أَوْ بَني أَخَواتِهِنَّ أَوْ
نِسائِهِنَّ أَوْ ما مَلَكَتْ
أَيْمانُهُنَّ أَوِ التَّابِعينَ غَيْرِ
أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ
الطِّفْلِ الَّذينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلى
عَوْراتِ النِّساءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ ما يُخْفينَ مِنْ
زينَتِهِنَّ وَ تُوبُوا إِلَى
اللهِ جَميعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya,
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat; Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara laki-laki mereka, atau putera saudara laki¬-laki mereka, atau putera
saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak
yang mereka miliki ; atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita, Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung”. (An-Nuur : 30-31)
Adapun orang yang meminang, memandang gadis yang
dipinangnya atau sebaliknya maka itu boleh, bahkan itu dianjurkan. Akan tetapi
dengan syarat berniat untuk mengkhitbah. Hadits-hadits tentang ini banyak
sekali. Adapun dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata pada
seseorang yang akan menikahi wanita :
“Apakah engkau telah melihatnya?”, dia
berkata, “Belum”. Beliau bersabda, “Maka pergilah, lalu lihatlah
padanya”.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim
dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu
alaihi wa sallam bersabda :
“Jika salah seorang diantara kalian meminang
seorang perempuan dan jika mampu melihat seorang perempuan dari apa-apa yang
mendorong kamu untuk menikahinya maka kerjakan.”
Orang yang meminang boleh memandang pinangannya
pada telapak tangan dan wajah saja menurut jumhur ulama. Karena wajah cukup
untuk bukti kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan/kehalusan
kulit badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka
hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk
menyingkapnya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya dan badannya, serta
keindahan rambutnya.
Dan yang lebih baik orang yang meminang melihat
pada yang dipinang sebelum dia meminang, sehingga jika dia tidak suka padanya,
maka dia bisa berpaling dari perempuan itu tanpa menyakitinya. Dan tidak
disyaratkan adanya keridhaan atau sepengetahuan si wanita itu, bahkan si lelaki
itu boleh melihat tanpa diketahui wanita pinangannya atau ketika dia lalai
(diintip) dan itu lebih utama..
Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Thabrani dari Abi Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila seorang diantara kamu meminang
wanita, maka tidak mengapa kamu melihatnya jika kamu melihatnya untuk dipinang,
meskipun wanita itu tidak tahu”.
Adapun yang menjadi kebiasaan kaum muslimin dalam
‘pinangan’ yaitu berdua-berduaan, pergi dan bergadang berdua, maka itu adalah
racun karena mengikuti kebiasaan orang-orang barat yang jelek, yang menyerbu
negeri-negeri muslimin. Alasan mereka yaitu masing-masing dari dua orang yang
bertunangan akan bisa saling mempelajari karakter yang lainnya dengan jalan
tersebut dan untuk lebih mengenal agar nanti menjadi pasangan yang ideal dan
bahagia.
Ini adalah sesuatu yang tidak benar berdasarkan
kenyataan sebab masing-masing berpura-pura dihadapan pasangannya dengan apa-apa
yang tidak ada padanya, yakni berupa akhlaq yang baik. Dan menampakkan bagi
pasangan apa-apa yang berbeda dari kenyataanya dan tidak menampakkan aslinya
kecuali setelah nikah dimana telah hilang sikap kepura-puraan itu dan
terbongkar hakekat dari masing-masing keduanya. Maka mereka akan ditimpa
kekecewaan yang besar.
Kami tahu berdasarkan pengalaman kami di mahkamah
syar’iyyah bahwa menempuh jalan yang disyari’atkan dan menjaga hukum-hukum
syari’at dari keduanya di semua tahapan-tahapan dalam menuju pernikahan,
dimulai dari khitbah sampai dengan malam pengantin merupakan sebab yang
menjamin kebahagiaan rumah tangga bagi keduanya dengan taufiq dan keridhoan
Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun orang yang melakukan tahapan-tahapan
itu dengan kebiasaan orang-orang kafir yang jelek maka mereka akan mengalami
kegagalan.
C. Sifat-sifat Yang Dituntut Dalam
Meminang dan Menerima Pinangan
Ketika pemuda dan pemudi menginjak remaja maka
mulailah dalam pikirannya terbetik kriteria-kriteria dan sifat-sifat siapa
calon pendampingnya untuk menjadi isterinya pada suatu hari nanti. Dan
pandangan orang terhadap sifat-sifat itu berbeda-beda, sesuai denga taraf pendidikannya
yang dia tumbuh padanya. Maka sebagian mereka ada yang membuat kriteria, yang
meliputi beberapa syarat seperti bentuk badan tingginya, warna kulitnya, warna
mata. Dan diantara mereka ada yang mensyaratkan dari sisi hartanya,
kekayaannya, nasab dan lain-lain.
Dan semua syarat-syarat ini dalam kenyataannya
dituntut dan disukai, juga tidak dilarang untuk mencari orang yang demikian
itu. Akan yang lebih baik dari itu semuanya adalah agamanya. Dalilnya yang
diriwayatkan Imam Al-Bukhariy dan Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda :
“Dinikahi wanita karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya dan karena Agamanya, maka utamakanlah yang punya
Agama sehingga kamu akan beruntung.”
Makna “yang memiliki Agama” yaitu :
wanita yang beragama, shalihah dan berakhlak baik. Maka hendaknya tujuan
meminang adalah memilih wanita yang punya Agama. Adapun bila terkumpul semua
sifat-sifat yang lain dari harta, keturunan dan kecantikan disertai punya
Agama, maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan. Akan tetapi tidak ada
kebaikan pada seseorang yang memiliki harta atau keturunan, atau kecantikan
tanpa punya Agama. Wanita yang punya kecantikan tanpa Agama adalah wanita yang
menipu orang lain dan diri sendiri, dan wanita yang punya harta tanpa Agama
adalah wanita yang menindas, lacur, atau rakus. Adapun wanita yang punya
keturunan, pangkat tanpa Agama, dia wanita yang sombong. Adapun wanita yang
punya Agama ialah wanita yang selalu taat, akhlaknya baik, tawadhu’ sekalipun
dia punya kecantikan, kekayaan, pangkat yang tinggi atau keturunan mulia.
Keadaan serta sifat-sifat ini tidak hanya khusus
pada wanita saja, bahkan juga untuk laki-laki. Maka bagi wanita yang dipinang,
agar jangan tertipu dengan kekayaan, ketampanannya, keturunan atau pangkatnya.
Bahkan wanita wajib untuk meneliti terlebih dahulu Agamanya, jika lelaki itu
termasuk beragama, shaleh, maka sungguh terkumpul padanya syarat-syarat
terpenting, sehingga jadilah sifat-sifat menempati peringkat kedua.
Sesungguhnya seorang lelaki yang beragama akan
menjaga warita dan memeliharanya, dan akan mempergauli isterinya dengan cara
yang baik, akan bersabar atas kekurangan-kekurangan isteri, bahkan ini yang
terpenting. Maka bila Iaki-laki itu mencintainya, dia akan memuliakan
isterinya, dan jika dia membencinya, dia tidak akan menzhaliminya meskipun si
isteri suka hidup bersamanya, dan bila lebih mengutamakan bercerai, maka dia
tidak menahannya untuk menyakitinya, tetapi dia pisah dengan perpisahan yang
sebaik-baiknya.
Sesungguhnya kehidupan ‘suami – isteri’ penuh
dengan kesulitan dan tanggung jawab yang berat serta berhadapan dengan keadaan
yang selalu berubah. Jika rumah tangganya ditegakan karena harta, kemudian
hilang hartanya, maka apa yang terjadi? dan jika ditegakkan di atas kecantikan
atau kedudukan, kemudian berubah, maka apa yang terjadi? Tidak diragukan lagi
akan terjadi perpecahan dalam rumah tangga dan akan muncul perselisihan, karena
pernikahannya tidak ditegakkan di atas dasar yang kokoh, tetapi atas syahwat Individu
tanpa pangkal dan landasan yang kuat.
Adapun apabila pernikahan dibangun atas dasar
menjaga Agama, dimana Agama itu merupakan aqidah yang tetap dan kokoh di hati
muslim yang beragama, dia bangun diatasnya perbuatan dan perkataannya, dan dari
dasar Itu dia bermuamalah dengan yang lainnya. Maka kita tahu, bahwa seorang
muslim yang beragama, baik laki-laki maupun perempuan, dia akan bersyukur pada
Allah Subhanahu wa ta’ala dalam keadaan lapang, dan bersabar dalam
keadaan sempit. Dia akan bergaul atau mensikapi kenyataan dengan iman dan
sabar, dan dia akan saling tolong-menolong dengan isterinya ( teman hidupnya)
dengan penuh amanah dan kegembiraan.
D. Cinta, Rindu, dan Cemburu
Banyak orang berbicara tentang masalah ini tapi
tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan
maknanya secara syari, dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan
tadi. Dan seakan-akan yang menghalangi untuk membahas masalah ini adalah
salahnya pemahaman bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yang
rendah dan berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang keji. Dan hal in adalah
salah. Tiga perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang
memotivasi untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya. Aku
memandang pembicaraan ini yang terpenting adalah batasannya, penyimpangannya,
kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam setiap hati manusia,
dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan apa yang mereka
maknai.
1. Cinta (AI-Hubb)
Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan hati
pada yang dicintai, dan itu termasuk amalan hati, bukan amalan anggota
badan/zhahir. Pernikahan itu tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali jika ada
cinta dan kasih sayang diantara suami-isteri. Dan kuncinya kecintaan adalah
pandangan. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam,
menganjurkan pada orang yang meminang untuk melihat pada yang dipinang agar
sampai pada kata sepakat dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam bab
Kedua.
Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Nasa’i dari Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
“Aku telah meminang seorang wanita, lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepadaku, “Apakah kamu telah melihatnya?”, Aku berkata
“Belum”, maka beliau bersabda, “Maka lihatlah dia, karena sesungguhnya hal
itu pada akhirnya akan lebih menambah kecocokan dan kasih sayang antara kalian
berdua”.
Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari
orang-orang, lebih-lebih pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan masalah “cinta”,
bahkan umumnya mereka mengira pembahasan cinta adalah perkara-perkara yang
haram, karena itu mereka merasa menghadapi cinta itu dengan keyakinan dosa dan
mereka mengira diri mereka bermaksiat, bahkan salah seorang diantara mereka
memandang, bila hatinya condong pada seseorang berarti dia telah berbuat dosa.
Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali
kerancuan-kerancuan dalam pemahaman mereka tentang “cinta” dan apa-apa
yang tumbuh dari cinta itu, dari hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Dimana mereka beranggapan bahwa cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya
dia memahami cinta itu dari apa-apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak dan
perempuan-perempuan rusak yang diantara mereka menegakkan hubungan yang tidak
disyariatkan. Mereka saling duduk, bermalam, saling bercanda, saling menari,
dan minum-minum, bahkan sampai mereka berzina di bawah semboyan cinta. Mereka
mengira bahwa ‘cinta’ tidak ada lain kecuali yang demikian itu. Padahal
sebenarnya tidak begitu, tetapi justru sebaliknya.
Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada
wanita dan kecenderungan wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari
syahwat-syahwat yang telah Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta,
artinya Allah menjadikan di dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati
laki-laki itu cenderung pada wanita, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَواتِ مِنَ
النِّساءِ وَ الْبَنينَ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,… “. (Ali-Imran
: 14)
Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita
atau sebaliknya, maka tidak ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada
keluarga. Namun, Allah Ta’ala tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau
sebaliknya supaya menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang diharamkan,
tetapi untuk menegakkan hukum-hukum yang disyari’atkan dalam bersuami isteri,
sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari ‘Abdullah bin Abbas Radhiyallahu
‘anhuma beliau berkata, telah bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa
sallam,
“Tidak terlihat dua orang yang saling
mencintai, seperti pernikahan .”
Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan
yang rusak atau keji, maka Allah telah menyuruh yang pertama kali agar
menundukan pandangan, karena pandangan itu kuncinya hati, dan Allah telah
haramkan semua sebab-sebab yang mengantarkan pada fitnah, dan kekejian, seperti
berduaan dengan orang yang bukan mahramya, bersenggolan, bersalaman, berciuman
antara lelaki dan wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati.
Maka bila hati telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu,
kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk cinta
pada syahwat ini, maka manusia mencintainya dengan cinta yang besar, dan
sungguh telah tersebut dalam hadits bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Diberi rasa cinta padaku dari dunia kalian ;
wanita dan wangi¬-wangian dan dijadikan penyejuk mataku dalam sholat. (
HR. Imam Ahmad, An-Nasa’i, Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam
kecenderungan hatinya. Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika
kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya :
apabila lelaki dan wanita saling pandang memandang atau berduaan atau duduk
cerita panjang lebar, lalu cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya
saling mencinta, maka kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya
disiksanya, karena hal itu berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa
untuk menguasai hatinya. Akan tetapi, keduanya diazab karena yang dia lakukan.
Dan karena keduanya melakukan sebab yang menyampaikan pada ‘cinta’, seperti
telah kami sebutkan. Dan keduanya akan dimintai tanggungjawab dan akan disiksa
juga dari setiap keharaman yang dia perbuat setelah itu.
Adapun cinta yang murni yang dijaga
kehormatannya, maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan oleh
sebagian ulama seperti Al-Imam As-Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang
lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi
pahala, sebagaimana akan dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab ‘Rindu’. Dan
dalam keadaan yang mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi
semua sebab-sebab yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan
mengantarkan pada bahaya-bahaya yang banyak, namun sangat sedikit mereka yang
selamat.
2. Rindu (Al-’Isyq)
Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan ada
rindu yang disertai dengan menjaga diri dan ada juga yang diikuti dengan
kerendahan. Maka rindu tersebut bukanlah hal yang tercela dan keji secara
mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga
diri dan kesucian, dan kadang-kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan
kehinaan.
Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan kami
tentang cinta maka rindu juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang orang
tidak mampu menguasainya. Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab yang
diharamkan dan atas hasil-hasilnya yang haram. Adapun rindu yang disertai
dengan menjaga diri padanya dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka
padanya pahala, bahkan Ath-Thahawi menukil dalam kitab Haasyi’ah Marakil
Falah dari Imam As-Suyuthi yang mengatakan bahwa termasuk dari golongan
syuhada di akhirat ialah orang-orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap
menjaga kehormatan diri dan disembunyikan dari orang-orang meskipun kerinduan
itu timbul dari perkara yang haram sebagaimana pembahasan dalam masalah cinta.
Makna ucapan As-Suyuthi adalah orang-orang yang
memendam kerinduan baik laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga
kehormatan dan menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk
mendapatkan apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena
kerinduan tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat.
Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran orang
ini dalam kerinduan bukan dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan
orang yang rendah yang melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang
yang sabar, menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada
keterkaitan dengan yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota
badannya sebab ini di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa
menguasai maka dia bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan
menyembunyikan kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapa pahala.
3. Cemburu (Al-Ghairah)
Cemburu ialah kebencian seseorang untuk disamai
dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari
buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan
cemburu itu ternasuk sifat yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki
atau wanita.
Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan
sangat marah ketika suaminya berniat kawin dan ini fitrah padanya. Sebab
perempuan tidak akan menerima madunya karena kecemburuannya pada suami, dia
senang bila diutamakan, sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak mencintai
suaminya, dia tidak akan peduli. Kita tekankan lagi disini bahwa seorang wanita
akan menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak hukum syar’i tentang bolehnya
poligami. Penolakan wanita terhadap madunya karena gejolak kecemburuan, adapun
penolakan dan pengingkaran terhadap hukum syar’i tidak akan terjadi kecuali
karena kelalaian dan kesesatan.
Adapun wanita yang shalihah, dia akan menerima
hukum-hukum syariat dengan tanpa ragu-ragu, dan dia yakin bahwa padanya ada
semua kebaikan dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan terhadap suaminya
serta ketidaksenangan terhadap madunya. Kami katakan kepada wanita-wanita
muslimah khususnya, bahwa ada bidadari yang jelita matanya yang Allah Ta’ala
jadikan mereka untuk orang mukmin di sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh
mengingkari adanya ‘bidadari’ ini untuk orang mukmin atau mengingkari hai-hal
tersebut, karena dorongan cemburu.
Maka kami katakan padanya :
1. Dia tidak tahu apakah dia akan berada
bersama suaminya di surga kelak atau tidak.
2. Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti
yang ada di dunia.
3. Bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala
telah mengkhususkan juga bagi wanita dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka
ridhai, meski klta tidak mengetahui secara rinci.
4. Surga merupakan tempat yang
kenikmatannya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan
terbetik dalam hati manusia, seperti firman Allah Ta’ala :
فَلا
تَعْلَمُ نَفْسٌ ما أُخْفِيَ
لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ
جَزاءً بِما كانُوا يَعْمَلُونَ
“Seorangpun tidak mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yaltu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan
pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (As-Sajdah
: 17)
Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui apa
yang tersembunyi bagi mereka dari bidadari-bidadari penyejuk mata sebagai
balasan pada apa-apa yang mereka lakukan. Dan di surga diperoleh
kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin dan mukminat dari apa-apa yang mereka
inginkan, dan juga didapatkan hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling ridho
di antara keduanya sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya (suami-isteri) di dunia
ini untuk beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan di sorga dengan penuh
kenikmatan dan rahmat Allah Ta’ala yang sangat mulia lagi pemberi rahmat.
Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada
keluarganya dan kehormatannya, maka hal tersebut ‘dituntut dan wajib’ baginya
karena termasuk kewajiban seorang laki-laki untuk cemburu pada kehormatannya
dan kemuliaannya. Dan dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak adanya
kemungkaran di keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia pada isteri dan
anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau meraka telanjang dan membuka
tabir di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga
seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.
Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di jaman
kita sekarang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi akan hilang
keheranan itu ketika kita sebutkan bahwa manusia di jaman kita sekarang ini
telah hidup dengan adat barat yang jelek. Dan maklum bahwa masyarakat barat
umumnya tidak mengenal makna aib, kehormatan dan tidak kenal kemuliaan, karena
serba boleh (permisivisme), mengumbar hawa nafsu kebebasan saja. Maka
orang-orang yang mengagumi pada akhlaq-akhlaq barat ini tidak mau memperhatikan
pada akhlaq Islam yang dibangun atas dasar penjagaan kehormatan, kemuliaan dan
keutamaan.
Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada
keluarganya dengan sifat-sifat yang jelek, yaitu Dayyuuts. Sungguh ada dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dari Amar bin Yasir, serta dari
Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dan ‘Abdullah bin Amr, dari Nabi Shalallahu
‘alaihi wa sallam bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga,
yaitu peminum khamr, orang yang durhaka kepada orang tuanya dan dayyuts.
Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan
keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar