|
Add caption |
ISTIHSAN DAN ISTISHAB
A. Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqih
merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang
ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam
Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan
akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar
proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor
yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri
bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil
ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor
eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya,
internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di
kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan
istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul
al-Mukhtalaf fiha,atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya”
dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam
(sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada
Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada
Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang
disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi
oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu:Istihsan, istishab, Maslahah
mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan
menguraikan tentang hakikat Istihsan, Istishab, dan maslahah mursalah yang
mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan
contoh-contoh produk hukumnya.
B. Istihsan
1. Pengertian
Istihsan
Secara etimologi,
istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada perbedaan
pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan.[1] Adapun
pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab
Khalaf [2]
هو
عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي
انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
“Istihsan
adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas)
kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum)
kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut
pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki
perpindahan tersebut.
Dari pengertian
tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
1. Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan
dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh
membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
-
Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat
sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid
haram membaca Al-Qur’an.
-
Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena
itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak,
maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang
laki-laki dapat beribadah setiap saat.
2. Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil.
Misalnya, jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut
dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu
akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah
menjadi kebiasaan mereka.
Definisi Istihsan
Definisi istihsan
Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid
terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan
pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi istihsan
menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan
hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada
sebagian kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu
anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan
adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully [3].Istihsan
merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh
dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam
Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat [4].
Dari berbagai definisi
diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan
dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara
umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas
ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan
persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan demikian,
Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang
sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka
harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau
ketentuan yang sudah jelas.
2. Dasar
Hukum Istihsan
para ulama yang mempertahankan istihsan
mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam
pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah
Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الذين يستمعون القول
فيتبعون احسنه .اولئك الذين هدهم الله . واولئك هم اولو الالبابز
Artinya: “Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang
yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut
mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti
perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.
واتبعوا احسن ما انزل
اليكم من ربكم
Artinya: “Dan
turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam
ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah
menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah.
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى
الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا
فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang
dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah
baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah
buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan
bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka
ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Contoh istihsan macam
pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah
pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat
saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar
istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena
mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah
pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada
jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan
hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada
sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik
barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting
pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang
sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf
itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan
tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena
itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini
ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi
qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya
tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
yang disebut istihsan.
Contoh lain adalah
mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan
sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung
buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air
liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum
dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas
khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut
binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat
tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak
bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya,
demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada
burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah
ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut
istihsan.
Contoh istihsan macam
kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian
tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan.
Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum
kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang
dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu
yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan
yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan
perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian
(istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan
memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
Yang berpegang dengan
dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam
qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang
telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar
ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang
membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan
qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal
itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping
Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab
Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang
istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i.
Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan
hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti
ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku
Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang
melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke
suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada
dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan
alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan
menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat
Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut
Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i,
istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang
lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian
ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat
dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan:
“orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa
dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang
diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan
sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
3. Pembagian Istihsan dan contoh
produk hukumnya
Ulama Hanafiah membagi
Istihsan kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan oleh al-Syatibi[5],
yaitu:
1. Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits).
Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada
ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash
al-kitab dan sunnah. Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum
wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang
berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat.
Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat
An-Nisa ayat 11 yang artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau
hutang”. Contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah adalah dalam kasus
orang yang makan dan minum karena lupa pada waktu ia sedang berpuasa.
Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukan
sesuatu kedalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu
berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits Nabi Saw yang
mengatakan: “Siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya,
karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya” (HR.
At.Tirmidzi).
2. Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).yaitu
meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma.
Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan
dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam
dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan
dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan. [6] msalnya
dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus
jelas, yaitu harus berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter air yang
dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi
orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh
menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya
waktu yang dipakai.
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada
ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk
diamalkan.[7]misalnya,
dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama dengan jual
beli karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah
tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah
tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui tanah tersebut
tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Dan
menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa menyewa, karena maksud
dari wakaf itu adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan.
Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak mengalirkan
air diatas lahan pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun
tidak dijelaskan dalam akad.
4., Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya
kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah
umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu
seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk
kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan
melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
5. Istihsan bi al-Urf ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan
yang berlaku umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan
qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam
kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi
dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang
mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena
berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan
yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan.
Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur
tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut,
karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama
Hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis
tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu, karena
keadaan dharurat menghendaki agar orangtidak mendapatkan kesulitan untuk
mendapatkan air untuk ibadah.
Ikhtilaf Para Ulama Tentang Istihsan
Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian
menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini,
terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai
salah satu bagian metode ijtihad. Imam Abu Hanifah sebagai seorang yang
menampilkan istihsan sebagai salah satu dalil dalam istinbath hukum,
mendapat serangan dan kritikan yang hebat dari lawan-lawan yang menolak
istihsan.[8] Berikut
ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
1. a. Kelompok
Yang Menerima Istihsan sebagai Dalil Hukum
Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad
dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Adapun yang menjadikan alasan bagi kelompok ini, bahwa istihsan sebagai salah
satu dalil hukum syara dan merupakan hujjah dalam istinbath hukum adaah:
1. Berdasarkan penelitian terhadap berbagai kasus
dan penetapan hukumnya ternyata berlawanan dengan ketentuan qiyas atau
ketentuan umum, dimana kadang-kadang dalam penerapannya terhadap sebagian kasus
tersebut justru bisa menghilangkan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia,
karena kemaslahatan itu merupakan peristiwa khusus. Maka, sangat tepat jika
membuka jalan seseorang mujtahid untuk memalingkan suatu kasus yang seharusnya
berdasarkan qiyas atau ketentuan kulli kepada ketentuan hukum yang lain agar
dapat merealisir maslahat dan menolak mafsadat.[9]
2. Kelompok ini menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an
dalam mempertahankan istihsan sebagai hujjah, yang mana ayat-ayat tersebut
mengacu kepada mengangkat kesulitan dan kesempitan dari umat manusia.
Diantaranya adalah firman Allah Swt:
يريد بكم اليسر ولا
يريد بكم العسر
.Artinya: “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Menggunakan dalil sunnah sebagai berikut:
ما
راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن .رواه احمد ابن حنبل
Artinya: “Apa saja
yang dipandang baik oleh umat Islam baik juga di sisi Allah “.(HR. Ahmad Ibn
Hanbal)
Menurut Madzhab
Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbat
(menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari
sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang
menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan
keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syara’. Karena
apabila kias yang diamalkan maka tujuan syarak dalam menurunkan hukum tidak
akan tercapai. Misalnya, membuka aurat untuk keperluan pengobatan
dalam rangka mencari penyembuhan suatu penyakit, apabila kias yang diamalkan
maka aurat tidak boleh dibuka untuk keperluan pengobatan, maka upaya pengobatan
tidak bisa dilakukan, dan ini berarti menimbulkan kesulitan.
Selain itu Ia juga
berpendapat bahwa al-istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian
dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal
al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih
mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan
dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa
al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap
lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan
selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak
merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun
bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata,
melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya
berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma’, ‘urf atau al-maslahah
al-mursalah.
b. Kelompok
Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil Hukum
Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.Para
pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa
syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang
dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari
hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan
sebuah hukum.
2.
Firman Allah:
يا يها الذين امنوا
اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الامر منكم. فان تنزعتم فى شيء فردوه الى الله
والرسول .ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر. ذلك خير واحسن تاويلا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat ini menunjukkan
kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah,
sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada
Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
1. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk
menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam
masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan
oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas dari pada sang mujtahid. Dan hal
ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan
melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
2. Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar
maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang
dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama’.
3. Rosulullah SAW ketika menghukumi
persoalan yang belum ada dalam al Qur’an tidak menggunakan istihsan, melainkan
menunggu turunnya wahyu.
4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para
sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk
di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu
‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka
adalah musuh-musuh Sunnah…’ ….”
Selain Imam Syafi’i
kalangan ulama zhahiriyah juga menolak penggunaan qiyas secara prinsip,
demikian pula ulama syi’ah dan sebagian ulama kalam mu’tazilah karena mereka
tidak menerima qiyas, maka dengan sendrinya mereka pun menolak istihsan karena
kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari
qiyas
Selain dari kalangan
ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafi’i ada juga para ulama yang
menolak istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti
adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang
di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang
ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh mujtahid adalah hukum
buatan manusia dan bukan hukum syar’i.[10]
Demikianlah dua
pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam
Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu
manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati
pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat
mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum,
hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang
mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang
harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam
masalah dan adanya sandaran yang kuat atasIstihsan tersebut
(sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).
Dan jika kita kembali
mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita
dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena
kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam
penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan
kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri
mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat
kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya
dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
C. Istishab
1. Pengertian
Istishab
Istishab menurut
etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat
istif’al(اِسْتِفْعَالِ) yang bermakna: اِسْتِمْرَارُ
الصَّحَبَهْ. Kalau kata الصَّحَبَهْ diartikan dengan
sahabat atau teman dan اِسْتِمْرَارُ diartikan selalu atau terus
menerus, maka istishab secara lughawi artinya selalu
menemani atau selalu menyertai. Atau diartikan dengan minta
bersahabat, atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan
adanya perhubungan atau mencari sesuatu yang ada hubunganny [11].Dan
disebutkan juga bahwa istishab berasal dari kata shuhbah artinya “menemani atau
menyerta”, dalam artian menurut kebersamaan atau “terus menerusnya bersama”.sebagaimana
yang dikatakan oleh para ahli bahasa dengan mengatakan:
كُلُّ شَيْءٍ لَازَمَ شَيْئَا فَقَدْ
اِسْتِصْحَبَه
Artinya: “Segala
sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau menyertainya”.
Dari pengertian yang
lain, menurut bahasa perkataan Istishab diambil dari perkataan “Istishhabtu
maa kaana fil maadhi,” artinya “saya membawa serta apa yang telah ada
waktu yang lampau sampai sekarang.
Menurut Istilah Usul, Istishhab ialah
melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena
sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Atau dengan perkataan lain; Istishhab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang
telah ada menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan
adanya penyertaan tersebut. Kalau sesuatu dalil syara` menetapkan adanya
sesuatu hukum pada sesuatu waktu yang telah lewat dan menetapkan pula
berlakunya untuk seterusnya, maka hukum tersebut tetap berlaku, tanpa diragukan
lagi. Seperti firman Allah:“Jangan kamu terima persaksian mereka selamanya.”.
Akan tetapi kalau dalil tersebut hanya menetapkan adanya hukum saja, pada waktu
yang telah lampau, tanpa menyinggung-nyinggung tetap berlakunya, maka apakah
hukum tersebut dianggap telah berlaku atau tidak?.Sedang menurut istilah
ditemukan beberapa redaksi dari para ahli yang mendefinisikannya, diantaranya
adalah:
Imam al- Asnawy:
اَنَّ اْلِإسْتِصْحَابَ عِبَارَةٌ عَنِ اْلحُكْمِ يُثْبِتُوْنَ
اَمْرًا فِى الزَّمَانِ الثَّانِى بِنَاءً عَلَى ثُبُوْتِهِ فِى الزَّمَانِ
الأَوَّلِ لِعَدَمِ وُجُوْدِ مَايَصْلُحُ ِللتَّغَيُّر
“Istishab adalah
melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan
hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah
ketentuan hukum tersebut
Istishab diartikan
Hasby Ash-Shiddiqy dengan:
اِبْقَاءُ مَا كَانَ
عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ لِانْدَامِ اْلُمغَيِّرِ (اِعتِقَادُ كَوْنِ الشَّئِ فِى
اْلمَاضِى اَوِ الْحَاضِرِ
(يُوْجِبُ ِظَنَّ ثُبُوْتِهِ فِى اْلحَالِ اَوِاْلإِسْتِقْبَاِلِ
“Mengekalkan apa yang
telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang mengubah hukum,
atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.
Dari pengertian yang lain juga disebutkan,
istishab berasal dari bahasa Arab ialah: pengakuan adanya perhubungan.
Sedangkan dari kalangan ulama` (ahli) ushul fiqih Istishab menurut
istilah adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya,
sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau
menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada
keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Adapun
definisi Istishab menurut Al Ghazali adalah berpegang pada dalil akal atau
syara`, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah
dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang
mengubah hukum yang telah ada. Atau tetap berpegang kepada hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum
tersebut, atau menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil
yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah
menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau
menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan
hukumnya. Menurut Asy Syatibi,istishab adalah segala ketetapan
yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya
pada masa sekarang.
Dari beberapa
pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah ikhtisar bahwaistishab adalah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa
lampau, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada
yang mengubahnya. Contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang yang mulanya
ada wudhu, kemudian datang was-was dalam hatinya, bahwa boleh jadi dia telah
mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya. Dalam kondisi begini, hendaklah
ia menetapkan hukum semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was yang datang belakangan
itu, tidak boleh mengubah hukum yang semula.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang,
tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu
Contohnya adalah
sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan
B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat berjauhan selama 15 tahun.
Karena telah lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan laki-laki C.
Karena dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali
perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum tali perkawinan walaupun
mereka telah lama berpisah. [12]
2. Macam-macam
Istishab
Para ulama ushul Fiqih
mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam.[13]Yaitu:
1. Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan
keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik
bersama manusia dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan
pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah
menjadi milik orang.
2. Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan
berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya
memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat
oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam
objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum
ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal
menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat
diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas
mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai
adanya penyebab yang membatalkannya.
3. Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum
sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama
tidak ada dalil yang naskh (yang membatal-kannya). Suatu nashyang
umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain
yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish.
Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya,
melainkan dengan ada suatu dalilyang khusus. Contohnya: kewajiban
puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib
bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang
membatalkannya.
4. Istishab An-Nashshi (Istishab
Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan
status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya,
merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada
masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya,
dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan
oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang
sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini?,
padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia
berada disini kemarin.
5. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang
telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum
demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula denganistishabul
madhi bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada
masa sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam
kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat.
Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air.
Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan
sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan
ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya
penetapan tersebut.
Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam
Para Ulama Ushul Fiqih
berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang
menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.[14]
Pertama, menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam),
istishab tidak bisa dijadikan dalil. Karena hukum yang ditetapkan pada masa
lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama
pada masa sekarang dan yang akan datang. Istishab bukanlah dalil, karenanya
menetapkan hukum yang ada pada masa lampau berlangsung terus untuk masa yang
akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini sama sekali
tidak dibolehkan dalam syara’.
Kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiah, khususnya
mutaakhirin, istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah
ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan
datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka seorang
mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai gambaran
bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan. Akan tetapi ia tidak
mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu sudah
dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut harus berpegang kepada
hukum yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan
hukum itu. Namun penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya
dan tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, stishab
hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama
tidak ada dalil yang membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk
menetapkan hak yang baru muncul.
Ketiga, ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah,
zhahiriyah dan syiah berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara
mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang
mengubahnya. Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,
selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni, maka
semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga keras
belum ada perubahan. Alasan yang menunjukkan berlakunya berlakunya syari’at di
zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat adalah menduga keras berlakunya syariat
itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang menasakh-kannya.
4. Kaidah-kaidah
Istishab
Para ulama fiqih
menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishab, diantaranya
adalah:
الاصل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Maksudnya, pada
dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan
dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya: adalah
kasus orang yang hilang diatas.
الاصل فى الأشياء الأباحة
Maksudnya, pada
dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah
boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad dianggap sah, selama
tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu
yang tidak ada dalil syara’yang melarangnya, maka hukumnya adalah boleh.
اليقين لايزال بالسك
Maksudnya, suatu
keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah
ini, maka seseorang yang telah berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya
itu apakah telah batal atau belum, maka ia harus berpegang kepada keyakinanya
bahwa ia telah berwudu, dan wudunya tetap sah. Tetapi ulama Malikiyah melakukan
pengecualian dalam masalah shalat. Menurutnya apabila keraguan tersebut
berkaitan dengan shalat, maka kaidah ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, apabila
seseorang ragu dalam masalah wudunya, maka ia wajib berwudu kembali.
الأصل فى الذ مة البراءة من التكاليف والحقوق
Maksudnya, pada
dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang
menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam
kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat
dan meyakinkan bahwa ia bersalah.[15]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu
Ushul al-fikih ,Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991
Abdul Wahab Khallaf, “Mashadir
al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassafih”. (Dar al-Qalam, cet. III, th. 1972),
Abu Ishak Al-Syatibi,
“al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah” ,Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV,
th. 1975.
Al-Banani, “Hasyiyah
al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala matn Jam’i al-Jawami”. (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II, th.1983
Al-Syarahsi. “Ushul
al-Syarahsi”. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993
Amir Syarifuddin, Ushul
fiqh, (Jakarta: Logos, 2001
Hasbi as-Shiddieqy,
Pokok-pokok pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum
Islam”. (Jakarta: Bulan Bintang, jilid I, cet 1, 1997
Jalal al-Din Abd
al-Rahman al-Suyuthi, “al-Asybah wa al-Nazhair”,(Singapura:
Sulaiman Mar’i, T.Th
Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih, Pustak Firdaus :Jakarta, 1999
Muhammad al-Said Ali
Abdul Rabuh, “Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-Ushuliyin”, Mesir
: Matba’ al-Sa-adah, th. 1980,
Suratmaputra, Ahmad
Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,
Jakarta, 2005.
Wahbah al-Zuhaili, “Ushul al-Fiqh al-Islmi”, (Beirut: Dar al-Fikr,
jilid II Th. 1986
; catatan kaki
[1] Al-Syarahsi.
“Ushul al-Syarahsi”. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II.
Th.1993), hal. 200
[2] Abdul
Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah
al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991) hal.79
[3] Muhammad
Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm
402
[5] Abu
Ishak Al-Syatibi, “al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah” (Beirut : Dar al-Makrifah,
jilid IV, th. 1975) hal. 206-208
[6] Muhammad
al-Said Ali Abdul Rabuh, “Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda
al-Ushuliyin”, (Mesir : Matba’ al-Sa-adah, th. 1980, hal.72
[8] Hasbi
as-Shiddieqy, Pokok-pokok pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam”.
(Jakarta: Bulan Bintang, jilid I, cet 1, 1997) hal. 161
[9] Abdul
Wahab Khallaf, “Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassafih”. (Dar al-Qalam,
cet. III, th. 1972), hal.77
[10] Amir
Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314
[11] Totok
Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,
Jakarta, 2005. hlm.142
[13] Al-Banani,
“Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala matn Jam’i al-Jawami”. (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II, th.1983), hal.284
[14] Wahbah
al-Zuhaili, “Ushul al-Fiqh al-Islmi”, (Beirut: Dar al-Fikr, jilid
II Th. 1986), Hal.862-863
[15] Jalal
al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, “al-Asybah wa al-Nazhair”,(Singapura:
Sulaiman Mar’i, T.Th), hal. 48
[16] Muhammad
Sa’id ‘Ali ‘Abdu Rabbuh, Op.Cit, hal.78-79
[18] Wahbah
az-Zuhaily, Op.Cit, hal. 36-37.
[19] Suratmaputra,
Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002, hal. 104
[20] Wahbah
az-Zuhaily, Op.cit, hal.
[21] Muhammad
Sa’id ‘Ali ‘Abdu Rabbuh, Op.Cit, hal.95
[22] Muhammad
Abu Zahrah, Op.Cit, hal. 180-182
[23] az-Zuhaily,
Op.Cit, hal. 42-43